Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah
keadaan emosional karyawan yang terjadi maupun tidak terjadi titik temu antara
nilai balas jasa kerja karyawan dan perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai
balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan (Martoyo,
2000). Schemerhom (1997) mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam
kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri (Work It Self), supervision,
teman sekerja (Workers), promosi (Promotion) dan gaji/upah (Pay).
Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja disebutkan oleh Stephen
Robins (1997) yaitu kerja, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung,
rekan kerja yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Kepuasan kerja dapat diukur melalui wawancara atau
pengisian kuesioner. Walaupun metode wawancara digunakan pada beberapa kasus,
namun kebanyakan penelitian dilakukan menggunakan kuesioner. Hal ini
dikarenakan metode wawancara jauh lebih mahal dan lebih memakan waktu
dibandingkan dengan kuesioner. Namun kelebihan menggunakan metode wawancara
adalah banyak informasi yang bisa digali lebih dalam lagi dari para responden
dimana para responden dapat memunculkan sendiri unsur-unsur kepuasan dan
ketidakpuasan kerja. Hal ini sangat membantu dalam langkah awal mendisain
kuesioner.
Cara termudah untuk melakukan pengukuran kepuasan
kerja adalah menggunakan skala yang sudah ada. Beberapa sudah dibuat sedemikian
telitinya dan saat ini banyak studi kehandalan
dan keabsahannya telah terbentuk. Banyak kelebihannya jika menggunakan
skala kepuasan kerja yang sudah ada, selain skala ini juga sudah digunakan
diberbagai kalangan secara internasional, juga menggunakan skala kepuasan kerja
yang sudah ada dapat menghemat biaya dan waktu dibandingkan jika membangun
skala kepuasan kerja dari awal. Skala Job Satisfaction Survey yang
dipublikasikan dalam Spector (1997) dapat digunakan dan dimodifikasi tanpa
bayaran apapun jika digunakan untuk kepentingan dunia pendidikan non komersil
dan tujuan penelitian. Job
Satisfaction Survey (JSS 1985 dalam Spector (1997)) mengukur
sembilan unsur dari kepuasan kerja, yaitu :
a.
Gaji, yaitu
jumlah yang diterima dan keadilan penggajian.
b.
Promosi,
yaitu kesempatan dan keadilan untuk promosi atau kenaikan jabatan atau karir.
c.
Supervisi,
yaitu kompetensi manajerial yang dimiliki dari seorang supervisor dan bagaimana
perilakunya terhadap bawahannya.
d.
Benefit,
yaitu kelebihan yang didapatkan oleh karyawan dari perusahaan seperti asuransi
dan cuti.
e.
Penghargaan,
yaitu perhatian dan pengakuan dari perusahaan terhadap kinerja yang baik dari
karyawannya.
f.
Prosedur,
yaitu peraturan atau prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi.
g.
Rekan Kerja,
yaitu menerima kompetensi rekan kerja dan senang bekerja sama dengan mereka.
h.
Sifat
Kerja, yaitu menyukai tugas-tugas yang
diberikan.
i.
Komunikasi,
yaitu berbagi informasi baik antar karyawan, atasan dan bawahan, maupun
perusahaan terhadap karyawan baik secara lisan maupun tulisan
Perilaku seseorang dalam beraktivitas atau bekerja
dapat muncul karena adanya motive (motive are the way of behaviour).
Motivasi pada dasarnya merupakan sebuah kondisi mental seseorang yang mendorong
untuk melakukan suatu tindakan (action/activities) dan memberikan
kekuatan (energy) yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan. Motivasi
kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja. Dorongan
atau semangat kerja sangat dipengaruhi oleh faktor atasan/pimpinan, teman
kerja, sarana fisik, kebijakan/aturan, imbalan, jenis pekerjaan, dan tantangan.
Dorongan dan keinginan seseorang sebagai motivator merupakan sesuatu
yang tidak dapat diamati, melainkan hanya dapat disimpulkan (Sunarta, 2006).
Saling memberi dukungan dan semangat dalam setiap
menyelesaikan pekerjaan antara pimpinan dan karyawan akan memberikan suasana
nyaman yang dapat memberikan sumbangan positif bagi organisasi. Seorang pimpinan harus menghindari tindakan,
ucapan, dan ungkapan yang dapat membunuh motivasi orang-orang yang menjadi
tanggungjawabnya. Memberi motivasi dan berinovasi untuk mengekspresikan berbagai
kemampuan yang dimilki karyawan, tidak cukup hanya dengan cara mendorong untuk
berperilaku motivatif, tetapi lebih dari itu seorang pimpinan juga harus
menjaga moral kerja agar semangat kerja tetap terjaga dan terpelihara dengan
baik (Sunarta, 2006).
Pemberian dorongan dan motivasi dari seorang
pimpinan adalah penting dilakukan, dan ini diperkuat oleh teori X dari Mc Gregor. Bahwa menurut Mc Gregor, seorang
karyawan harus diawasi secara ketat, diberi tugas yang jelas dan rinci, dan memberikan
imbalan (reward) jika berhasil, memberikan hukuman (punishment)
jika melakukan kesalahan. Teori ini memperkuat bahwa seorang karyawan sering
malas, dalam bekerja lebih suka diperintah, diawasi, tidak ingin bertanggungjawab,
hanya berorientasi pada materi. Sementara dalam teorinya yang lain (teori Y) Mc
Gregor juga mengatakan bahwa pada dasarnya karyawan menganggap bekerja sebagai
aktivitas biasa dan alami.
Selain itu karyawan dalam kategori teori Y juga
diasumsikan bahwa bekerja tidak bedanya dengan sebuah permainan sehari-hari
yang tidak memerlukan pengawasan secara ketat apalagi dihukum. Dalam praktek
organisasi karyawan dengan tipe X tidak bisa diperbandingkan secara dikotomis
dengan karyawan tipe Y, karena sangat tergantung oleh situasi dan suasana yang
melingkupinya. Ada kalanya seorang pimpinan harus mengambil keputusan secara
otoriter, namun pada waktu yang berbeda sangat mungkin dalam mengambil
keputusan dengan cara yang demokratis.
Agar para karyawan dalam melakukan aktivitas kerja
sehari-hari tetap termotivasi, maka seorang pimpinan atau manajer tidak boleh
melakukan hal-hal negatif yang dapat mencederai dan menurunkan moral kerja.
Hal-hal yang harus dijauhi oleh pimpinan sedikitnya ada sepuluh masalah negatif
yang tidak boleh dilakukan antara lain: (1) mengkritik karyawan dihadapan orang
lain, (2) menghina/merendahkan karyawan, (3)menganggap karyawan sebagai alat,
(4) melempar tanggungjawab, (5) memikirkan diri sendiri, (6) berlaku tidak
adil, (7) ragu-ragu dalam mengambil keputusan, (8) bersikap kaku/arogan, (9)
tidak menaruh kepercayaan, dan (10) bersikap acuh tak acuh kepada bawahan.
Suatu organisasi yang berhasil dalam mencapai
tujuannya serta mampu memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung
pada para manajernya (pimpinannya). Apabila manajer mampu melaksanakan
fungsi-fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat
mencapai sasarannya. Sebab itu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif,
yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. Empat
gaya kepemimpinan menurut Robert House (1971, dalam Kreitner dan Kinicki, 2005),
yaitu:
1.
Kepemimpinan
yang mengarahkan/pengasuh (direktif).
Memberikan panduan kepada para karyawan mengenai
apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, menjadwalkan
pekerjaan, dan mempertahankan standar kerja.
2.
Kepemimpinan
yang mendukung (supportive).
Menunjukkan
kepedulian terhadap kesejahteraan dan kebutuhan para karyawan, sikap
ramah dan dapat didekati, serta memperlakukan para karyawan sebagai orang yang
setara dengan dirinya.
3.
Kepemimpinan
partisipatif.
Berkonsultasi dengan karyawan dan secara serius
mempertimbangkan gagasan mereka pada saat mengambil keputusan.
4.
Kepemimpinan
yang berorientasi pada pencapaian (prestasi).
Mendorong para karyawan untuk berprestasi pada
tingkat tertinggi mereka dengan menetapkan tujuan yang menantang, menekankan
pada kesempurnaan, dan memperlihatkan kepercayaan diri atas kemampuan karyawan.
Dengan mempergunakan salah satu dari empat gaya di
atas, pemimpin berusaha mempengaruhi persepsi bawahannya dan memotivasinya,
dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan,
kepuasan kerja, dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Kepemimpinan yang diperankan dengan baik oleh
seorang pemimpin mampu memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini
akan membuat karyawan lebih hati-hati berusaha mencapai target yang diharapkan
perusahaan, hal tersebut berdampak pada kinerjanya. Hasil penelitian Ogbonna
dan Harris (2000) menunjukkan bahwa
budaya organisasi mampu memoderasi pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan
kerja yang berdampak pada peningkatan kinerja karyawan.
Kepemimpinan di sektor
publik dan swasta bisa berbeda bisa juga sama. Kesamaan antara sektor publik
dan swasta adalah dari segi tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial di
sekitar serta sikap karyawan terhadap manager/pimpinan mereka. Akan tetapi, kepemimpinan
di dua sektor tersebut berbeda dalam hal persepsi pemimpin ditingkat top-level, pengambilan keputusan yang
beresiko, kecakapan dalam mengembangkan leadership, pendekatan yang dilakukan
dalam memberikan motivasi dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Selain
itu juga di sektor publik lebih sering ditemui individual dan charismatic leadership dibandingkan collective dan networked leadership yang
banyak di temui di sektor swasta. Namun begitu, akhir-akhir ini mulai sering
ditemui pemimpin-peminpin di sektor publik yang menerapkan gaya kepemimpinan
seperti di sektor swasta. Hal ini dilakukan agar dapat memberikan pelayanan
yang memuaskan kepada konsumen/pelanggan/masyarakat.
Daftar Pustaka
Sunarta. 2006. Memelihara Motivasi Kerja Karyawan Untuk
Meningkatkan Kinerja Organisasi.
Destri Susilaningrum. 2005. Analisis Kepuasan Karyawan PT.
Philips, Tbk Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Dengan
Analisis Profil Multivariate. Skiripsi Program Studi Statistik Institut
Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya
Nurjanah. 2008. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi
Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi Pada Biro Lingkup Departemen
Pertanian). Tesis Program Magister
Manajemen Universitas Diponegoro
Gill, Roger. 2009. RESEARCH FOCUS. Leadership in the public
sector – is it different?. The Leadership Trust. Herefordshire. United
Kingdom
No comments:
Post a Comment