Thursday, October 25, 2012

Peran Ahli Gizi


PERAN AHLI GIZI DALAM PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT

Permasalahan gizi di Indonesia semakin kompleks seiring terjadinya transisi epidemiologis. Masalah gizi kurang belum tuntas sepenuhnya dan di lain pihak masalah gizi lebih dan penyakit degeneratif menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk menanggulangi berbagai permasalahan gizi tersebut dibutuhkan tenaga kesehatan dan ahli gizi yang dinamis, mandiri dan menjunjung etik profesional sehingga dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu dan pelayanan dibidang gizi (KepMenkes, 2007).  
Ahli gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan akademik dalam bidang gizi sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetik baik di masyarakat, individu atau rumah sakit. Sedangkan Registered Dietitian (RD) adalah sarjana gizi (ahli gizi) yang telah mengikuti pendidikan profesi (internship) dan ujian profesi serta dinyatakan lulus kemudian diberi hak untuk mengurus ijin, memberikan pelayanan dan menyelenggarakan praktek gizi (KepMenkes, 2007).
Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, dan sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien (Depkes, 2003). Adapun definisi dari pelayanan gizi dalam KepMenkes (2007) adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi, makanan, dietetik masyarakat, kelompok, individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran, implementasi dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit.  
 Agar ahli gizi dapat memberikan pelayanan gizi yang berkualitas dan optimal diperlukan adanya standar pelayanan gizi. Standar pelayanan gizi adalah standar yang mengatur penerapan ilmu gizi dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan pendekatan manajemen kegizian. Ruang lingkup pelayanan gizi rumah sakit terdiri dari nutrition care (asuhan gizi) dan food service (penyelenggaraan makanan).
Standar pelayanan asuhan gizi terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu standar praktek asuhan gizi dan standar professional performance (penampilan profesional). Standar praktek asuhan gizi terdiri dari :
a.       Pengkajian gizi
Pengkajian gizi dilakukan baik untuk pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Pengkajian dimulai dengan pemeriksaan antropometri untuk mengetahui status gizi pasien dan disesuaikan dengan kondisi pasien melalui pengukuran tinggi badan, berat badan, panjang lengan, tinggi lutut, lingkar lengan atas, dan skin fold thickness. Selain itu juga diperlukan data penunjang lain yang berasal dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit dan diagnosa gizi pasien. Selain itu juga diperlukan data riwayat gizi untuk menegakkan masalah gizi pasien. Riwayat gizi pasien didapatkan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berfungsi untuk mendapatkan gambaran kebiasaan makan/pola makan sehari berdasarkan frekuensi penggunaan bahan makanan. Sedangkan untuk data kuantitatif didapatkan dengan cara recall 24 jam dan diukur dengan menggunakan food model (Depkes, 2003).  
b.      Diagnosa masalah gizi
Diagnosa masalah gizi ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan saat pengkajian gizi. Dalam prakteknya, masalah gizi pasien dapat dikelompokkan menjadi tiga domain yaitu domain intake, klinik, dan behaviour (perilaku) (Susilo, 2011).
c.       Intervensi gizi (rencana dan implementasi)
Ahli gizi harus mampu membuat rencana intervensi gizi sesuai dengan masalah yang ditemui pada pasien dan mengimplementasikan rencana tersebut. Intervensi gizi disusun berdasarkan etiologi (penyebab) masalah gizi yang ada, baik dari domain intake, klinik maupun perilaku (Susilo, 2011).
d.      Monitoring dan evaluasi (monev)
Monev dilakukan oleh ahli gizi untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan terapi (intervensi) gizi. Apabila dalam monev pasien tidak menunjukkan perkembangan, ahli gizi bekerja sama dengan tenaga medis lain (dokter, perawat dan lainnya) melakukan perencanaan ulang. Monev dilakukan berdasarkan sign/symptom (tanda dan gejala) dari diagnosa masalah gizi (Susilo, 2011).

Standar profesional performance menurut ADA (American Dietetic Association) adalah metode problem solving yang sistematis, menggunakan cara berpikir kritis dalam membuat keputusan menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan gizi dan memberikan asuhan gizi yang aman, efektif dan berkualitas tinggi. Untuk itu ahli gizi harus memenuhi standar unjuk kerja sebagai berikut:
a.       Profesionalisme dalam pelayanan
b.      Penerapan riset
c.       Komunikasi dan aplikasi pengetahuan baru
d.      Memanfaatkan dan mengatur sumber daya
e.      Kualitas dalam praktek pelayanan
f.        Mengembangkan kompetensi dan akuntabilitas profesional
(Susilo, 2011)
Dalam menjalankan perannya sebagai ahli gizi yang profesional harus mematuhi kode etik yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia) dan KepMenkes 374/2007. Dalam kode etik tersebut, ahli gizi memiliki kewajiban :
1.       Terhadap Klien :
a.       Berusaha memelihara dan meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi pelayanan gizi atau masyarakt umum
b.      Menjaga rahasia klien atau masyarakat yang dilayani baik pada saat klien masih atau sudah tidak dalam pelayanan, bahkan juga setelah klien meninggal dunia kecuali bila diperlukan untuk keperluan kesaksian hukum
c.       Tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku, agama, ras, status sosial, jenis kelamin, dan usia.
d.      Memberikan pelayanan gizi prima, cepat dan akurat.
e.      Memberikan informasi dengan tepat dan jelas
f.        Apabila mengalami keraguan dalam memberikan pelayanan wajib berkonsultasi dan merujuk kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.
2.       Terhadap masyarakat :
a.       Melindungi masyarakat umum tentang penyalahgunaan pelayanan, informasi yang salah dan praktek yang tidak etis berkaitan dengan gizi, pangan termasuk makanan dan terapi gizi/diet.
b.      Melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi sehingga dapat mencegah masalah gizi di masyarakat
c.       Mencegah terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat
d.      Memberi contoh hidup sehat dengan pola makan dan aktifitas fisik yang seimbang sesuai dengan nilai praktek gizi individu
e.      Memberikan dorongan, dukungan, inisiatif dan bantuan lain demi tercapainya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat.
f.        Dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan tertentu berkewajiban senantiasa tidak dengan cara yang salah atau menyebabkan salah interpretasi atau menyesatkan masyarakat.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa ahli gizi memiliki peran yang penting dalam pelayanan gizi di rumah sakit. Pelayanan gizi menjadi hal yang penting bagi rumah sakit yang akan mengurus akreditasi. Penilaian pelayanan gizi tersebut mulai aspek visi/misi pelayanan gizi, kegiatan administrasi, staf dan pimpinan di unit gizi, fasilitas dan peralatan yang dimiliki, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan, serta adanya kegiatan evaluasi dan pengendalian mutu oleh ahli gizi. 


DAFTAR PUSTAKA
1.       Departemen Kesehatan. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI : Jakarta
2.       Susilo, Joko. 2011. Standar Pelayanan Gizi dan Kompetensi Profesi Gizi. Pekan Ilmiah Dietisien : Jakarta
3.       KepMenkes 374/2007 Tentang Standar Profesi Gizi
4.       Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PERSAGI (PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA) 2005

No comments: