Peran Pengasuh Menentukan
Status Gizi Anak Balita
Permasalahan gizi di Indonesia saat ini masih
tergolong tinggi, hal ini berdasarkan hasil riskesdas 2010 angka prevalensi
underweight secara nasional adalah 17,9%, stunting 35,6% dan wasting 13,3%. Keadaan
tersebut menunjukkan anak balita masih menderita masalah gizi akut dan kronis.
Gizi kurang pada anak balita dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kecerdasan.
Gizi kurang, kematian dan kecacatan fisik maupun rendahnya kecerdasan pada anak
dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung sebagaimana diperlihatkan
pada kerangka model UNICEF. Dua faktor langsung pada model tersebut adalah
kurangnya konsumsi makanan dan kondisi kesehatan, sedangkan faktor tidak
langsung adalah ketahanan pangan, pengasuhan dan akses kepada sarana kesehatan
dan kondisi lingkungan dimana anak tinggal (Riyadi dkk, 2011).
Anak balita merupakan kelompok pendukung yang
paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Beberapa alasan yang
memperkuat alasan tersebut antara lain, status imunisasi, diet dan psikologi
anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan yang pesat dan
kelangsungan hidup anak balita sangat tergantung pada orang dewasa, terutama
keluarga. Sebagai orang terdekat, ibu sangat berperan dalam pengasuhan
anak. Pemberian makan (feeding) oleh ibu
dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, baik secara positif maupun negatif
(Martianto dkk, 2011).
Penelitian untuk melihat peran ibu terhadap status
gizi balita pernah dilakukan di 3 desa Kabupaten Timor Tengah Utara, provinsi
Nusa Tenggara Timur yang memiliki karakteristik wilayah yang berbeda (dekat
perkotaan, sedang, dan jauh dari perkotaan). Dari hasil penelitian tersebut
terungkap bahwa peranan ibu sangat penting dalam menentukan status kesehatan
anak balita. Tingkat pendidikan ibu, akses informasi gizi dan kesehatan, perilaku
gizi ibu, perilaku hidup sehat anak serta pengetahuan ibu tentang gizi
merupakan beberapa faktor yang berkaitan dengan status gizi anak balita.
Terkait dengan perilaku gizi ibu, pola pemberian
makan pada balita pada 2 tahun pertama kehidupannya juga penting. Dalam
penelitian yang dilakukan di Nias, Sumatera Utara tingginya angka kejadian wasting diduga karena praktek pemberian
makan yang kurang tepat. Praktek pemberian pre-lacteal
feeding (sebelum mendapatkan ASI) yang diberikan pada 1 jam pertama setelah
bayi dilahirkan dipercaya dapat mengurangi rasa lapar pada bayi.
Pemberian MP-ASI dini pada usia kurang dari 6
bulan juga masih banyak dilakukan. Hal ini berkaitan juga dengan rendahnya
angka keberhasilan ASI eksklusif dalam sample penelitian. Berkurangnya produksi
ASI menjadi alasan utama mengapa ibu memberikan MP-ASI lebih awal dari yang
dianjurkan oleh WHO. Selain itu juga, pengaruh dari orang-orang disekitar ibu
juga turut andil dalam praktek pemberian MP-ASI dini. Karena ibu bekerja, maka
anak akan diasuh oleh nenek. Ketika anak menangis, nenek akan mengira bahwa
anak tersebut lapar, sehingga pada usia kurang dari 6 bulan anak sudah
mendapatkan MP-ASI.
Kurangnya akses informasi mengenai gizi dan
kesehatan yang diterima oleh ibu balita serta maraknya promosi susu formula
yang dilakukan oleh produsen turut berperan dalam tumbuh kembang anak balita. Akses
informasi terkait gizi dan kesehatan berhubungan dengan karakteristik daerah
tinggal. Ibu yang tinggal di daerah perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dibandingkan ibu yang tinggal di daerah pedesaan (jauh dari kota).
Di daerah perkotaan informasi mengenai gizi dan
kesehatan lebih mudah diperoleh melalui kampanye-kampanye yang dilakukan oleh
pemerintah maupun organisasi masyarakat lainnya. Sedangkan di daerah pedesaan,
informasi hanya diperoleh melalui bidan atau kader kesehatan setempat. Selain
itu juga, masyarakat di pedesaan masih dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan
tradisional yang dapat mempengaruhi ibu dalam mengambil sikap terkait pola
pemberian ASI atau MP-ASI anak. Kebiasaan masyarakat di pedesaan yang memiliki
anak lebih dari 2 orang juga bisa mempengaruhi status gizi balita dalam
keluarga tersebut. Ibu yang memiliki anak banyak akan kurang
perhatian dalam mengasuh anak dibandingkan dengan ibu yang hanya memiliki 2
orang anak atau kurang. Disisi lain, jumlah anak yang banyak dalam satu
keluarga mengindikasikan adanya kompetisi dalam ketersediaan makanan.
Ketersediaan makanan
berkaitan dengan ketahanan pangan dalam keluarga. Semakin tahan pangan suatu rumah tangga, status gizi
anak balita juga semakin baik. Rumah tangga yang tidak tahan pangan akan
menyebabkan ibu memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan gizi anak balita.
Ibu cenderung kurang memperhatikan faktor gizi dalam memberikan makanan kepada
anak. Ketersediaan makanan keluarga berkaitan erat dengan kondisi sosial
ekonomi keluarga dan tingkat pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu. Dengan
tingkat pendidikan yang tidak tinggi, namun ibu mengetahui tentang gizi yang
baik untuk anak maka anak akan memiliki pola makan yang baik yang dapat
menunjang tumbuh kembangnya dengan normal.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmadewi, Asrinisa dan Ali
Khomsan. 2009. Pengetahuan, Sikap, Dan Praktek Asi Ekslusif Serta Status Gizi Bayi Usia
4-12 Bulan Di Pedesaan Dan Perkotaan. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2009 4(2): 83 – 90.
http://202.124.205.111/index.php/jgizipangan/article/viewFile/4524/3027
Inayati et al. Infant Feeding
Practices Among Mildly Wasted Children: A Retrospective Study On Nias Island,
Indonesia. International Breastfeeding Journal 2012, 7:3
Martianto dkk. Pola Asuh Makan Pada Rumah Tangga Yang Tahan
Dan Tidak Tahan Pangan Serta Kaitannya Dengan Status Gizi Anak Balita Di
Kabupaten Banjarnegara.
Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 51-58.
http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/viewFile/4578/3077
Riyadi, Hadi dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Gizi dan
Pangan, 2011, 6(1): 66–73
http://202.124.205.111/index.php/jgizipangan/article/viewFile/4603/3090